Fungsi utama media: sampaikan informasi

FERRY ARBANIA
By -
0
|Ferry Arbania|Tampaknya ini persoalan sederhana. Semua orang juga tahu bahwa fungsi media yang utama adalah menyampaikan informasi. Namun ini perlu saya ulang dan saya tegaskan berkali-kali, supaya media tetap ingat. Juga supaya media massa tak didominasi berita hiburan (gosip selebriti) atau iklan.

Nah, apakah berita tentang Nazarudin yang menghiasi halaman depan semua media arus utama di Indonesia sejak bulan Mei 2011 termasuk memenuhi fungsi informasi? Tentu ada yang merasa sudah tercukupi dan terpuasi.
Namun tak sedikit pula yang merasa tak mendapat info apa-apa (maksudnya yang siginifikan, bukan sekadar tong kosong nyaring bunyinya). Ada juga  yang tak melihat perkembangan (progress) dari kasus suap dan korupsi Wisma Atlet. Semua seperti berjalan di tempat atau mundur atau kesana kemari tak sampai jua ke tujuan: pembongkaran kasus suap itu.
Tentu saja berita-berita Nazarudin dan kembangannya adalah informasi. Namun media massa mesti mengingat standar pemberitaan: ABC. Informasi mesti Akurat, Balanced atau Berimbang, dan Clear atau Complete. Berita dengan Nazarudin sebagai narasumber, bisa dianggap sebagai berita yang akurat, karena narasumbernya pelaku, atau setidaknya tersangka. Prime source. Namun itu saja tidak cukup bagi media massa untuk memenuhi kriteria informatif.
Apakah beritanya sudah balanced? Terutama karena narasumber utama menyebut-nyebut nama lain? Nama lain itu tentu harus diberi porsi yang seimbang. Berita Nazarudin juga kurang Complete dan kurang Clear, karena lebih banyak mengumbar kata-kata tanpa bukti. Siapa yang tidak bisa, misalnya, mengacung-acungkan "flash disc" lalu berkata: "Di sini ada rahasia para pejabat penting di Indonesia."
Apalagi bila wartawan tidak mengejar atau menelusuri kebenaran isi "flash disc" itu. Jangan-jangan itu cuma "flash disc" berisi lagu-lagu, atau foto-foto keluarga, atau malah kosong?
Di sini nilai informatif berita-berita tentang Nazarudin menjadi meragukan. Sekali lagi, berita dianggap informatif bila yang dikabarkan akurat, balanced, dan complete atau clear. Ini rumus ABC paling sederhana untuk tiap jurnalis. Berita Nazarudin tak pernah balanced dan belum complete.
Sebagai konsumen media, kita malah seperti diajak menari mengikuti irama gendang yang ditabuh Nazarudin. Bukannya media massa menelusuri, menyelidiki, melakukan liputan mendalami atau liputan investigasi, media menerima apa saja yang kelur dari mulut Nazarudin dan pengacaranya. Maka berita pokoknya, yaitu tentang dugaan adanya suap dan korupsi Wisma Atlet di Kementerian Menpora, Badan /Panitia Anggaran di DPR RI, terabaikan.
Nazarudin menabuh kendang dengan irama selain kasus dugaan suap. Dia menyanyikan lagu bahwa pimpinan KPK pernah bertemu dengannya (yang saya sebagai orang awam akan bertanya: "Seandainya benar mereka pernah bertemu, so what?" Tak ada larangan bagi para tokoh di Jakarta untuk saling bertemu, bukan?).
Pertanyaan intinya, yang lupa ditanyakan para wartawan adalah, "Kalau mereka bertemu dimana letak kesalahannya?" "Pertemuan itu dalam rangka apa dan membicarakan apa?" "Apa sudah ada kasus Wisma Atlet?" "Apa ada negosiasi untuk jadi Ketua KPK?"
Jadi, yang penting adalah apa isi pertemuannya, bukan benarkah mereka pernah bertemu. Konsumen media diberi suguhan irama lagu yang incomplete dan unclear. Apa point-nya mengungkap pertemuan Nazarudin dengan pimpinan KPK (yang konon terjadi awal 2010), apa kaitannya dengan kasus suap Wisma Atlet? Media massa kurang piawai menggiring arus informasi ke arah yang ditunggu-tunggu publik. Media massa terlena mengikuti irama gendang tarian Nazarudin.
Irama lain yang ditabuh antara lain korupsi dan politik uang di Kongres Partai Demokrat (sebagai orang awam saya akan dengan skeptis bertanya: "Memang apa salahnya partai menggelontorkan begitu banyak uang agar kongresnya sukses? Kalau duit-duitnya sendiri? Bukankah itu praktik yang amat wajar?"). Oke, mungkin persoalannya, uang yang dipakai pesta partai itu adalah dana APBN. Uang rakyat. Jelas korupsi.
Narasumber media (Nazarudin) telah mengakui di depan publik bahwa "Partai saya pesta menggunakan dana APBN." Kalau para penegak hukum dan media massa berpegangan pada kalimat pengakuan ini saja, fokus, dan tak usah menengok kesana kemari, persoalan ini amat gampang diselesaikan. Pelakunya mengaku. Selesai.
Namun tampaknya para penegak hukum dan awak media kurang peka, kurang tanggap. Masih saja si Nazarudin diikuti iramanya, termasuk ketika dia berubah irama: "Saya lupa semua, saya tidak tahu apa-apa, saya tak akan merusak nama baik Partai Demokrat." Ini pun diserap begitu saja oleh media dan disajikan kepada kita, tanpa sikap "flashback" yang kritis atas pengakuan sebelumnya. Apakah ini informasi yang kita butuhkan? Saya meragukannya. Lama-lama bosan juga kita rakyat Indonesia setiap hari selama berbulan-bulan membaca headline tentang satu kasus korupsi tanpa progres yang signifikan, apalagi solusi.
Media massa mesti kembali ingat pada fungsinya yang utama: menyampaikan informasi. Informasinya bukan sekadar pengumuman presiden, atau curhatan tersangka korupsi; melainkan yang benar-benar signifikan dan berdampak bagi publik. Publik akan lega bila koruptor yang bisa keliling dunia pakai pesawat carteran dan ketika buron malah mau nonton sepak bola dan berwisata, segera ditentukan hukumannya.
Sebaliknya, publik akan frustrasi bila semua pilar (pemerintah, hukum, parlemen, media massa) dijadikan bulan-bulanan oleh sang koruptor. Rakyat yang frustrasi mengganggu kesehatan jiwa masyarakat, dan dapat menyebabkan keputus asaan, kemarahan, apatisme, pemberontakan. Pemberontakan yang paling mudah dilakukan rakyat adalah malas membayar pajak (merasa tertipu karena pajak itu dipakai foya-foya oleh para pejabat). Ujung-ujungnya: pendapatan negara mampat, pembangunan tersendat, Indonesia tetap jalan di tempat.
Oleh sebab itu, saya mewakili para konsumen media yang sudah putus asa melihat konspirasi di antara ketiga pilar demokrasi, betul-betul berharap agar media massa berhenti mengikuti irama kendang Nazarudin. Sudah waktunya media memainkan perannya sebagai pengawas, sebagai "watch dog!" Atur jarak dari narasumber (termasuk para pengacaranya, yang hanya menjadikan media sebagai 'loud speakernya'). Lakukan reportase investigasi yang independen. (***/LKM Media Watch/Infopoljatim)

Post a Comment

0Comments

Ferry Arbania , Sahabat Indonesia

Post a Comment (0)