Menyibak Lorong Gelap Filsafat

FERRY ARBANIA
By -
0
|Ferry Arbania|
Oleh Moh. Luthfi al-Anshori, Lc   
Senin, 01 Maret 2010 23:43
Bagi sebagian (kebanyakan?) orang, membincang filsafat adalah hal yang rumit nan membosankan. Jangankan untuk mempelajari, hanya mendengar kata “filsafat” diucapkan saja muak. Dan, pada tahap selanjutnya mereka dihinggapi phobia dan skeptisisme yang berlebihan, hingga semena-mena mengatakan bahwa filsafat itu haram, kotor lagi menyesatkan.  

Bisa jadi persepsi ini muncul karena menurut mereka, filsafat adalah disiplin keilmuan yang membingungkan, sesuatu yang rumit (complicated), sangat relatif dan dianggap tak bermanfaat, hanya membuang waktu dan pikiran untuk mempelajarinya. Bertolak dari pengalaman pribadi penulis, ternyata memang masih banyak sekali para akademisi yang enggan bahkan sangat sulit untuk mau memahami dan mempelajari filsafat. Sebuah fakta empiris yang ironis. (numesir.com)

Perhelatan Panjang Filsafat
Sebuah perhelatan sengit nan panjang tak berkesudahan. Begitulah filsafat! Ia bagaikan lorong gelap yang pengap. Tak banyak orang yang bisa survive ketika telah masuk ke dalamnya. Ada yang gila, ada yang murtâd, namun ada pula yang justru bercahaya. Melalui olah pikir yang cemerlang, mereka mampu menerobos lorong itu, menyibak gelap, melalui rintangan, berjibaku dengan kerumitan-kerumitan teori yang dibuat oleh manusia sendiri.

Contoh nyata keberadaan orang-orang yang survive itu dapat kita temukan dalam berbagai literatur filsafat. Sebut saja Socrates, salah seorang yang diduga pencetus awal terma filsafat (meskipun masih ada perselisihan pendapat tentang hal itu). Ia dikenal sebagai sosok yang tawâdhu’. Karena sumbangsih pikirannya yang cukup banyak, ia menjadi dikenal oleh masyarakat kala itu. Namun ia tidak sombong dengan mengatakan dirinya adalah seorang filosof (baca: hakîm). Sebab menurutnya, yang memiliki “hikmah” hanyalah Tuhan. Maka ia lebih suka menyebut dirinya “muhib li al-hikmah”.

Berangkat dari sikap Socrates di atas, muncul sebuah pertanyaan retoris dari penulis: jika ternyata berfilsafat atau berpikir secara filosofis dapat menjadikan seseorang lebih arif dan tawâdhu’, lalu kenapa banyak yang tersesat? Atau dalam waktu yang sama banyak yang mengklaimnya sebagai jalan sesat? Silahkan Anda pikirkan masing-masing jawabannya!  

Selanjutnya, mari kita melihat sample lain yang bisa kita jadikan figur filosof “cemerlang”. Adalah Ibnu Sina, yang di tangannya filsafat paripatetik (yang konon telah digagas al-Farabi) memasuki masa keemasan. Bertolak dari sinilah filsafat menjadi salah satu faktor penentu budaya serta ilmu-ilmu lainnya. Melihat aksi dan sepak terjang Ibnu Sina dalam bidang filsafat maupun disiplin kelimuan lainnya, para ulama Islam kala itu menjadi semakin tertantang. Sayangnya, mereka cenderung menganggap argumentasi-argumentasi falsafi bak pondasi bangunan yang rapuh. Mereka berpegang teguh bahwa jalan terbaik dan satu-satunya untuk mencapai kebenaran hakiki adalah melalui proses pembersihan hati (tazkiyyah al-nafs) dan ibadah. Filsafat, menurut mereka, hanyalah akan menjauhkan manusia dari jalan yang sebenarnya.

Terkait dengan hal ini kiranya perlu dicatat, bahwa oleh sebagian ulama –seperti al-Ghazali dan Fakhruddin al-Razi– Ibnu Sina dianggap melenceng dari ajaran Islam. Bahkan, para teolog Muslim mengatakan bahwa apa-apa yang diungkapkan oleh para filosof Islam banyak bertentangan dengan ajaran al-Qur`an dan Sunnah Rasul. Hal itulah yang nampaknya mempengaruhi al-Ghazali untuk menulis sebuah karya berjudul “Tahâfut al-Falâsifah”, yang banyak mengkritik pemikiran Ibnu Sina. Tak hanya mengkritik, Ghazali bahkan sampai pada tahap mengkafirkan beberapa pandangan Ibnu Sina yang dianggapnya menyimpang dari ajaran Islam.

Dan begitulah perhelatan filsafat (Islam) terus bergulir. Setelah al-Ghazali, hadirlah al-Razi yang juga melakukan kritik senada terhadap filsafat paripatetik serta berbagai ajaran filsafat hasil terjemahan dari buku-buku Yunani. Namun terlepas dari “tuduhan” bahwa Ibnu Sina telah melenceng dari Islam akibat filsafat, perlu kiranya kita membaca data lain bahwa Ibnu Sina adalah seorang filosof Islam yang “selamat” secara iman dan akidah. Dalam kitab “Turâtsunâ al-Falsafi; Hâjatuhu ila al-Naqdi wa al-Tamhîsh” karya Muhammad Ridla al-Syabîbi, kita dapat menemukan bahwa Ibnu Sina memiliki sebuah karya berjudul “al-Khithâb wa al-Tamjîdât” atau dalam referensi lain disebut “al-Khitab al-Tauhîdiyyah”. Buku ini berisi doa-doa atau pujian-pujian khusus dengan menggunakan asâlib khas para filosof. Baris-baris kalimat yang (mungkin) tidak dipahami oleh masyarakat umum (karena tidak populis).

Sebagaimana diriwayatkan oleh seorang muridnya, al-Jurjani, ketika menceritakan biografi Ibnu Sina, ia mengatakan bahwa gurunya (Ibnu Sina) sering meminta pertolongan kepada Tuhan ketika dihadapkan pada sebuah persoalan besar dan rumit melalui jalur shalat. Ibnu Sina juga disebutkan sempat menuliskan tafsîr tentang beberapa surat pendek al-Qur`an, serta berbagai ulasan lainnya terkait trik-trik ketika berdoa agar diterima dan dikabulkan.

Sekelumit data di atas, setidaknya menceritakan kepada kita bahwa Ibnu Sina pun masih mengimani shalat (yang notabene merupakan salah satu pilar Islam) sebagai kendaraan menuju pencerahan. Meskipun, patut disadari bahwa perdebatan para pakar tentang syakhshiyyah Ibnu Sina masih terus berlanjut. Lalu, bagaimana dengan kita?

Diakui atau tidak, filsafat terbukti mampu mempertahankan eksistensinya. Ia menjadi sebuah disiplin yang terus berjalan, dinamis, tidak mandeg apalagi hilang. Justru ia semakin menjulang meski badai tak jarang menerpa dari berbagai sisi. Tak hanya di Barat, bahkan di Timur, filsafat Islam kembali hidup, setelah beberapa saat mengalami vacum akibat “agresi militer” bertubi-tubi dari kalangan teolog Islam. Hal itu ditandai dengan kemunculan Ibnu Bajah, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd. Adapun sepak terjang dari ketiga tokoh tersebut mungkin tidak akan dibahas di sini, karena keterbatasan ruang dan waktu.

Sebagai kesimpulan awal pada ruas ini, penulis membayangkan bahwa filsafat adalah sebentuk pohon yang kokoh. Akar-akarnya tertancap kuat di kedalaman bumi, sehingga ia tak goyah dalam perhelatan sengit melawan angin dan badai. Meskipun banyak yang “membenci”nya, namun ia bagai manusia berhati baja yang tegar menatap dunia. Sebab, ia ada justru karena dunia masih ada. Ia baru akan hilang ketika hamparan bumi telah digulung oleh Sang Pencipta, hingga Rakib-Atid menutup bukunya.

Dari Teori Menuju Aplikasi

Sejenak menyimak berbagai kasus di atas, setidaknya kita dapat mengambil sebuah antitesis, bahwa oleh sebagian kalangan, filsafat dipandang sebagai disiplin keilmuan yang tak memberi kontribusi berarti bagi kemakmuran hidup manusia. Menurut mereka, “jabang bayi” filsafat hanyalah rentetan teori-teori rumit yang sulit dipahami. Filsafat tidak bertujuan untuk memberikan pedoman hidup kepada manusia dalam tataran praksis. Walhasil, filsafat hanya berotasi di kawasan langit, begitu jauh dan tidak membumi. Jangankan untuk mengaplikasikannya, mempelajari teorinya saja susah. Dengan demikian, mereka menganggap bahwa filsafat justru merusak kebahagiaan manusia, destruktif! Juga, sebagian orang awam akan bertanya-tanya, apa wujud konkrit sumbangsih filsafat dalam peradaban manusia?

Baik, jika demikian pertanyaannya, kita perlu melakukan penjelajahan singkat ke belakang (flash back), napak tilas jejak filsafat. Dengan demikian, kita dapat memetakan sejauh mana tugas dan fungsi filsafat yang sebenarnya. Apakah memang benar ia hanya berkutat pada tataran teori-metafisis, ataukah ia mempunyai garapan konkrit yang praksis-aplikatif?
Jauh ke belakang, pada masa kemunculan filsafat Yunani, kita akan menemukan sisa-sisa peninggalan dua aliran filsafat terkemuka, teoretis oriented dan praksis oriented. Model pertama digawangi oleh Aristoteles yang mengorientasikan filsafat guna meraih kepuasan otak dan nalar, melalui jalan pencarian hakikat atas segala sesuatu. Tipe selanjutnya adalah yang menjadikan filsafat sebagai washîlah untuk dapat berprilaku dan beretika secara benar. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Socrates dan pengikutnya.

Lalu melangkah ke abad pertengahan, kita disuguhi berbagai peninggalan agung filsafat sebagaimana dicetuskan al-Farabi. Kali ini filsafat benar-benar dijadikan lokomotif guna mencapai tujuan mulia, merealisasikan kebahagiaan manusia. Aliran ini layaknya hasil sintesis dua aliran yang tak hanya mementingkan teori ataupun aplikasi saja, namun mensinergikan keduanya. Hasilnya, al-Farabi mampu mencetuskan berbagai postulat penting dalam rangka mewujudkan masyarakat madani yang dinamis dan “berkah”. Hal ini dapat kita temukan dalam beberapa karyanya, antara lain Ârâ`u Ahli al-Madînah al-Fâdhilah.
Kemudian sampailah kita pada abad modern, di mana jumhûr filosof meyakinkan bahwa filsafat bukanlah entitas yang tak mengenal realita, hanya berputar-putar pada penalaran hampa, menyeret pengkajinya ke ranah maya dalam kesendirian yang menyingkirkan dari ramai dunia. Jika konon filsafat sempat difigurkan sebagai alat pemuas hasrat intelektual semata, kini filsafat ditempatkan sebagai “abdi” masyarakat. Ia berposisi sebagai sarana bagi masyaralat guna mewujudkan tatanan yang mapan.

Adapun hasil konklusi perjalanan singkat di atas, kita dapat merumuskan bahwa sejatinya, filsafat mempunyai dua arah tujuan; jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan terdekat filsafat adalah menemukan hakikat segala sesuatu (melalui berbagai teori dan metodologi). Sementara muara akhirnya adalah aplikasi dari berbagai teori tersebut dalam dunia aksi (prilaku).
Namun jika ada yang menyangkal: “Jikapun benar bahwa sejatinya filsafat ditujukan demi kebahagiaan manusia, kemakmurannya, juga demi memberikan perubahan mendasar dalam segi budaya dan mengantarkan pada peradaban maju, kenapa sejauh ini filsafat masih terkesan mandul?”

Siapa bilang? Bahkan para sejarawan mencatat, bahwa tidak ada revolusi yang terjadi dalam bidang sosial-kemasyarakatan, agama, politik dan lain sebagainya, kecuali di baliknya ada filsafat. Atau, jikapun tidak, para filosof langsung yang terjun dalam revolusi, setidaknya orang-orang yang dipengaruhi filsafatlah yang melakukan revolusi. Jadi, dalam hal ini filsafat telah menjadi spirit untuk melakukan perubahan menuju peradaban yang lebih luhur.
 
Apa yang Perlu Diambil dari Filsafat?
Dalam buku “Manhaj al-Bahts ‘inda al-Kindi”, Fatimah Isma’il menjelaskan bahwa, manfaat terbesar yang bisa kita ambil dari mempelajari filsafat dan sejarahnya adalah kita dapat mengetahui berbagai tahapan metodologi yang ditempuh oleh para filosof, sehingga mereka bisa sampai pada sebuah tingkatan, di mana hingga sekarang nama mereka tetap abadi. Meski telah beribu tahun raga mereka terkubur dalam tanah, namun ruh mereka seakan terus ada melingkupi alam intelektual generasi masa kini. Metodologi yang mereka hasilkan itulah yang dahulu mampu memberikan perubahan pada realita kehidupan sosial dan budaya masyarakat.

Maka tidak benar jika belakangan, banyak kalangan berpandangan bahwa mengkaji pemikiran klasik hanya akan menyebabkan ketertinggalan (regresivitas). Bahkan, terkhusus bagi pengkaji filsafat, ia tak kan bisa lepas dari kerangka sejarah filsafat. Menariknya, di sela-sela mengkaji filsafat, kita akan banyak menemukan hal ajaib dalam tubuh filsafat maupun pribadi para filosof. Apalagi jika kita jeli dan sabar menelusuri jejak filsafat, kita akan mendapati sebuah mata rantai berkesinambungan serta keterkaitan antar bagian di dalamnya, baik di masa lampau, sekarang dan hingga masa mendatang. Yang terpenting lagi dalam “membaca” filsafat bukan terletak pada obyek kajiannya, melainkan metode riset yang dipilih dan dipakai oleh tiap-tiap filosof dalam menjawab setiap fenomena.

Dengan demikian, setiap pengkaji filsafat harus lebih memperhatikan segi metode dalam penyelesaian berbagai kasus. Sebab filsafat adalah usaha pencarian hakikat dalam berbagai hal. Oleh karena itu, setiap pencari kebenaran bebas menempuh jalan sesuai yang ia kehendaki, dengan beragam metode yang ia pilih sebagai kendaraan menuju tujuan.

Berhijrah dari Gelap
Sebagai loncatan sementara, karena penulis yakin perbincangan filsafat tak akan final jika hanya ditulis dalam beberapa lembar kertas, maka sekali lagi perlu ditegaskan, bahwa kita tak pantas memandang sinis filsafat. Dengan ungkapan lain, kiranya tak adil jika kita hanya memvonis, sementara kita sendiri belum mencoba dan berusaha. Banyak orang skeptis atas sesuatu, namun dirinya sendiri justru diam seribu bahasa. Jika demikian, lalu bagaimana bisa menang? Lorong filsafat memang panjang, bak labirin yang licin. Namun jika menyerah sebelum bertanding, jika hanya mencibir tanpa mencicipi, itu sama halnya seperti pecundang. Vince Lombardi berkata: “Winner Never Quit and Quitters Never Win.”

Filsafat selamanya akan menjadi gelap jika kita masih menganggapnya gelap. Filsafat akan selalu abstrak jika kita hanya memandangnya dari kejauhan. Seperti halnya kita memandangi gurun pasir putih dari atas mobil. Di mata kita terlihat seperti ada haluan air, namun sebenarnya fatamorgana.

Lalu jika ada yang berkata:  “Filsafat itu abstrak. Tidak ada jawaban yang pasti. Setiap orang punya ide sendiri-sendiri tentang persoalan filosofis, dan tak seorang pun dapat mengklaim bahwa ia memiliki kebenaran yang mutlak."
Statemen tersebut sangat umum. Banyak argumen filosofis yang memang abstrak, namun bukankah benar pula bahwa filsafat kadang-kadang sangat konkrit dan praktis? Bahkan, penulis lebih cenderung mengatakan: jawaban yang “terang” terhadap sebagian besar pertanyaan filosofis terlalu banyak.

Dalam sejumlah kasus, gagasan filosofis sulit dipahami bukan karena terlalu abstrak, terlampau melayang jauh dari kehidupan kita sehari-hari, melainkan justru karena teramat konkrit! Filsafat ada kalanya menyentuh sedemikian dalam hal-hal yang tak terpahami oleh kita karena obyek pembahasan itu terlalu dekat dengan kehidupan kita. Pernahkah anda mencoba melihat mata kanan Anda dengan mata kiri Anda?

Sebagai pungkasan tulisan ini, penulis hendak berkata bahwa sejak kecil kita semua mungkin telah mendengar kalimat “filosofi”. Filosofi Petani, Filosofi Berdagang, Filosofi Memancing, Filosofi Bekerja dan filosofi-filosofi lainnya. Kalimat-kalimat itu sering kita dengar dari para guru, kiai, juga bapak-ibu dan kakek-nenek kita. Simpel dapat kita pahami bahwa maksud dari kata itu adalah hakikat, sesuatu (nilai) yang terletak di balik kata dan perbuatan. Sehingga ketika kita mengetahui hakikat dari segala sesuatu, kita akan mampu melaksanakan segala sesuatu itu secara bijak dan sesuai fitrah.

Maka kenapa kita harus terjebak di belantara filsafat yang sarat dengan teori, padahal sebenarnya kandungan filsafat mampu kita simplifikasikan sedemikian rupa? Filsafat tak sepenuhnya rumit dan teoritis, namun sebagian besar justru simpel dan aplikatif. Tergantung bagaimana kita bisa memilah dan memilih! Maka, setelah sejenak melakukan “perkenalan” dengan filsafat, kita akan bisa menyibak lorong gelapnya. Jika masih bingung, mari kita lanjutkan perjalanan tak berujung. Karena ilmu Tuhan sungguh maha luas. Wallâhu a’lam![]

Post a Comment

0Comments

Ferry Arbania , Sahabat Indonesia

Post a Comment (0)