Sastra
adalah dunia artistik, dunia keindahan, ataupun dunia estetika. Tetapi,
dalam realitasnya, dunia ini digelibati beragam ketidakindahan dari
para pelakunya. Ada intrik kejam dalam sastra.
Demikian salah
satu pernyataan yang disampaikan Slamet Wahedi saat mengisi acara Orasi
Satu Tujuan di Perpustakaan Dbuku Bibliopolis, Royal Plaza, Surabaya,
Minggu (17/4/2011). "Dalam bulan April ini, kami mengambil tonggak Hari
Sastra Nasional, 28 April. Nah, kami menampilkan sastrawan muda asal
Madura, Slamet Wahedi," kata penggagas Dbuku, Diana Av Sasa.
Sementara
itu, dalam orasinya, Slamet mengaku mendapat dasar-dasar kesastraan
dari tradisi pesantren di Madura. Saat itu, dia punya anggapan, sastra
adalah sebuah dunia yang nyaman dan penuh keindahan.
Sayangnya,
ketika berkuliah di Surabaya (dia kuliah di Unesa), Slamet merasakan
sesuatu yang cukup menyesakkan. "Saya melihat ternyata dunia sastra
penuh intrik dan politik. Dunia sastra penuh siasat yang licik. Saya
sungguh tidak mengerti. Ini sungguh sesuatu yang tragis," katanya.
Merasa
sesak dengan kondisi saat ini, Slamet mengajak teman-teman seangkatan
dengan dirinya untuk merebut kedaulatan sastra. Alasan yang dikemukakan,
kondisi tragis dalam sastra saat ini, lebih disebabkan oleh generasi
tua yang sudah terkontaminasi.
"Pada kesempatan ini, saya ingin
mengajak kepada saudara-saudara seangkatan saya, kepada yang lahir pada
periode 80-an, yang naik tanpa dendam, saya ingin mengajak untuk kembali
merebut kedaulatan sastra, kemerdekaan sastra," lantangnya.
Bagaimana
cara merebutnya, Slamet kembali kepada tugas utama sastrawan ataupun
ranah sastra. Ada tiga hal yang disebutkannya. "Pertama, ia harus mampu
menjadi seorang manusia. Kedua adalah bagaimana sastrawan mampu menjadi
martil kebudayaan dan kemanusiaan. Yang ketiga adalah, sastrawan harus
menjadi nabi tanpa wahyu," tandasnya. [but]
Berikut transkrip lengkap orasi yang disampaikan Slamet Wahedi:
Saatnya Generasi 80-an Merebut Kedaulatan Sastra
Di
forum Orasi Satu Tujuan ini ada hal yang ingin saya sampaikan ketika
saya diminta berbicara mengenai sastra. Ada sebuah pengalaman tragis.
Pada sekitar tahun 2000-an saat saya berusia 16 tahun, waktu duduk di
kelas 3 SMP, saya diperkenalkan pada sebuah realitas sastra yang bukan
hanya sekedar membaca, menulis, atau penikmat, atau sekedar membaca
sebuah puisi, cerpen. Tetapi dilingkungan hidup sekolah saya, ustadz
saya, mengajarkan lebih dari itu. Sastra juga membutuhkan sebuah mental.
Sastra bukan hanya sekedar menulis, bertampang ria, bukan sekedar
berbicara di depan forum, sastra juga harus memiliki sebuah dedikasi
yang kuat.
Di dalam kehidupan sekolah saya, sastra tidak serta
merta diterima sebagai sebuah kehormatan tetapi ia mesti diuji dulu.
Banyak anak-anak yang suka sastra tapi dia diolok-olok dulu. Mereka
terus diasingkan, mereka terus dicaci maki. Dan semua itu hanyalah untuk
menempa mental mereka.
Pertamakali saya mengenal sastra saya
sungguh takjub. Saya sungguh sangat membanggakan siapa yang namanya
Goenawan Muhamad, yang namanya Taufik Ismail, Ayu Utami. Saya membaca
Saman, Catatan Pinggir, saya sungguh terkesan. Bahkan saya membayangkan
saya ingin menjadi seperti mereka. Saya sering membacakan sajak-sajak
Chairil, saya sering membacakan sajak-sajak Goenawan yang sungguh indah.
Itulah pengalaman saya semasa SMP. Saya sungguh terpesona dengan yang
namanya sastra. Sampai tidak ada dunia lain yang ingin saya geluti lagi
kecuali sastra.
Tapi sayang, pengalaman yang mengesankan,
pengalaman yang memukau itu tiba-tiba menjadi berantakan ketika saya
memasuki dunia kuliah. Ketika saya hadapi betapa mirisnya dunia sastra.
Saya melihat ternyata dunia sastra penuh intrik dan politik. Dunia
sastra penuh siasat yang licik. Saya sungguh tidak mengerti. Ini sungguh
sesuatu yang tragis. Tiba-tiba dalam dunia sastra saya mengenal yang
namanya mitos. Orang yang tulisannya tidak dimuat di Kompas, Tempo itu
bukan penulis. Sungguh Ironi. Orang yang tidak diakui oleh Utan Kayu
bukan penulis. Sungguh ironi. Dan kenyataan ini yang membuat saya begitu
tercekam pada dunia sastra.
Dan saya juga membaca dunia sastra
kita begitu dipenuhi oleh keteganggan. Dunai sastra kita dipenuhi oleh
sebuah dusta. Kejujuran sudah tidak bisa dipertahankan. Inilah, ini yang
saya katakan paradoks. Paradoks kesusastraan. Estetika yang seharusnya
bisa menyuarakan kemanusiaan ternyata sudah habis oleh intrik politik.
Estetika yang seharusnya mampu memperjuangkan kebenaran dan keadilan
ternyata habis oleh proyek-proyek yang mengatasnamakan sastra. Sungguh
Ironi bukan?
Ya, ini memang ironi. Pada kesempatan ini, saya
ingin mengajak kepada saudara-saudara seangkatan saya, kepada yang lahir
pada periode 80-an, yang naik tanpa dendam, saya ingin mengajak untuk
kembali merebut kedaulatan sastra, kemerdekaan sastra. Kemerdekaan
seperti apa? Sastra seharusnya mampu berpihak pada rakyat, seharusnya
sastra memahami rakyat dan mampu memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan.
Kenapa
kita mesti merebut kedaulatan sastra? Kenapa kita mesti merebut
kemerdekaan sastra? Sekedar kilas balik. Pada jaman penjajahan kita
sudah tahu, ketika sastra coba coba menyuarakan keadilan, ketertindasan
masyarakat, tiba-tiba Belanda dengan Balai Pustakanya coba membredel
mereka, coba membonsai mereka. Bahkan para pengarang yang cukup gigih
memperjuangkan nasib rakyat diberi tanda silang merah yang cukup
mengagetkan, bacaan mereka adalah bacaan liar. Sungguh mengenaskan
memang sastra kita di jaman penjajahan. Hanya sastra yang meninabobokan
yang boleh terbit.
Itu masih berlanjut. Itu masih belum berakhir.
Di era kemerdekaan sekitar tahun 60-an sastra kita digoncang oleh
sebuah prahara kebudayaan yang sungguh ironi. Kubu Manikebu dan Lekra
terus bertarung, bertarung, bertarung demi politik, demi gagasan, demi
humanisme universal. Mereka terus bergulat, bergulat, hingga sekarang.
Nyatanya, karya sastra kita tetap kerdil. Kita tetap memuja-muja diri
kita. Kalau mau jujur, hanya seorang Pram saja yang mampu berkata di
dunia. Hanya seorang Pram saja yang diakui tanpa harus berkoar-koar di
media. Pram dari balik jeruji dia tetap bisa diakui dunia. Hanya itu
saja sastra kita yang bisa diakui dunia.
Sampai sekarang pun
pergulatan antara umanisme universal dan sosialisme sosialis belum
berakhir. Kemanusiaan yang kita dengung-dengungkan belum mereka sentuh.
Bahkan, ironi itu berlanjut dengan namanya Horison, dengan namanya Utan
Kayu, dengan namanya Boemipoetra, dengan namanya sindikat-sindikat
lainnya, diam-diam para sastrawan kita, orang yang diharapkan lebih
peka, orang yang diharapkan mampu memperjuangkan kemanusiaan ternyata
bak politikus juga. Ternyata sastrawan sama saja dengan politikus yang
hanya bisa mengatasnamakan demi kepentingan rakyat.
Sama saja.
Cuma bedanya, sastrawan kita atas nama estetika, atas nama keindahan,
atas nama seni, atas nama pertunjukan, atas nama sebuah puisi yang
menggebyar. Tidak tahunya ternyata itu dalam kandang sendiri. Mereka
memuji teman-teman sendiri. Mereka memuji diri sendiri. Ah, sungguh
ironi. Tapi itulah kenyataan sastra kita.
Lalu bagaimana kita
sebagai generasi bangsa? Generasi yang dilahirkan tanpa dendam. Generasi
yang dilahirkan tahun 80-an. Apa yang harus kita lakukan? Maka, satu
hal yang perlu kita sampaikan pada generasi tua sastra kita.
"Hanya ada satu kata, silakan kalian pergi dan kita akan mengukir sejarah sendiri".
Lalu bagaimana sejarah yang akan kita ukir?
Pada
sebuah diskusi sastra, Yasraf Amir Piliang mungkin agak gelisah dengan
kehadiran dunia elektronik. Gelisah dengan adanya facebook, dengan
datangnya blog, dengan adanya web site. Bahkan ketika Cyber Sastra
diluncurkan semua orang kasak kusuk, semua orang perlu mengomentari,
bahkan ada yang mempertanyakan apakah itu sastra atau tidak. Tapi bagi
saya, sebagai generasi yang harus mempunyai sejarah sendiri saya akan
mengatakan,
"Inilah saatnya mempunyai diri sendiri. Inilah
saatnya saya harus menyuarakan karya-karya saya pada masyarakat. Sudah
bukan saatnya saya harus berada di menara gading. Bukan saatnya saya
harus berandai-andai sebagai seorang intelektual. Sudah saatnya saya
harus menyebarkan puisi-puisi saya, karya-karya saya kepada setiap
lapisan masyarakat".
Sudah saatnya puisi itu tidak hanya
memperbincangkan simbol, semiotika, tidak hanya memperbincangkan teori.
Tapi sudah saatnya sastra itu harus menjadi jalan lain memperjuangkan
kemanusiaan. Memperjuangkan kebenaran dan keadilan.
Karena itu,
sahabat-sahabat sastra, melalui forum Orasi Satu tujuan ini, saya ingin
menjelaskan, saya ingin menegaskan kembali. Kita sebagai generasi yang
naik tanpa dendam, kita sebagai generasi yang masih muda, yang mempunyai
cita-cita panjang, harus tegar, harus berani mengatakan, "Kita tidak
butuh generasi-generasi tua. Kita tidak butuh para sastrawan yang sudah
berkoloni hanya untuk membuat sindikat, membuat mafia, membuat gengster.
Kita punya sejarah sendiri".
Itu yang perlu kita katakan pada
dunia. Kita mesti berkarya dengan hakekat diri kita sendiri, kta harus
berkarya dengan jati diri kita sendiri. Kita tidak mereka untuk
memediakan karya kita. Kita tidak butuh Kompas, kita tidak butuh koran,
kita tidak butuh apapun yang terus membonsai imajinasi kita untuk
menyebarkan karya. Kita hanya butuh kemerdekaan. Kita hanya butuh
eksistensi, kita hanya butuh keberanian. Kita harus bercermin pada Wiji
Tukul, hanya kata satu kata terhadap koloni, terhadap kapitalisme,
terhadap, terhadap sastrawan-sastrawan yang cuma menelorkan dogma-dogma:
Lawan Mereka!
Hadirin dan penikmat sastra yang saya hormati.
Dalam kaitan ini saya juga ingin menyampaikan hal terpenting dalam karya
sastra. Bahwa sastrawan paling tidak memiliki tiga tugas dalam
kesusastraannya.
Pertama, ia harus mampu menjadi seorang manusia.
Mengapa ia harus mampu menjadi seorang manusia? Seorang sastrawan
adalah orang yang selalu dibayangkan terhadap kemanusiaan. Sastrawan
adalah kholifah yang mampu membaca dan mengajarkan ilmu kepada manusia
dengan kalam. Sehingga tidak boleh tidak, sastrawan mempunyai tugas
penuh untuk menyuarakan kemanusiaan. Adalah hal yang hianat kalau
seorang sastrawan, penulis yang diharapkan mampu peka, mampu menyuarakan
jamannya, tidak mampu menyuarakan kemanusiaan. Hal inilah yang perlu
divamkan oleh setiap sastrawan.
Kedua adalah bagaimana sastrawan
mampu menjadi martil kebudayaan dan kemanusiaan. Kalau kita meminjam
kata-katanya Seno Gumira, ketika semuanya dibungkam, para hakim sudah
disogok, jaksa sudah disuap, presiden sudah disandera, polisi sudah
diteror, maka sastrawan harus berbicara lebih banyak. Sastrawan harus
menegakkan semuanya. Itu yang harus dikerjakan oleh setiap penulis, oleh
setiap sastrawan.
Yang ketiga adalah, sastrawan harus menjadi
nabi tanpa wahyu. Seperti apa nabi tanpa wahyu? Kita harus membaca,
melihat realitas masyarakat kita, kita harus turun ke jalan. Bagaimana
yang namanya masyarakat lumpur belum selesai, bagaimana kasus-kasus
belum selesai, bagaimana negara yang morat marit ini. Harus kita lihat,
harus kita terjemahkan dalam estetika kita. Yang selanjutnya harus kita
kobarkan semangat kepada rakyat kita. Kita tidak perlu memprovokasi
rakyat kita dengan estetika kita. Kita tidak perlu mengandai-andaikan
mereka sebagai sesuatu yang dininabobokan. Kita tidak perlu membuat
'nyanyian' kosong kepada mereka. Kita hanya perlu mengabarkan sesuatu
yang harus kita miliki sebagai seorang sastrawan. Apa itu? Yaitu Iqro
bismirobbikalladzi kholaq, adalah sebuah Bacalah dan Sampaikan dengan
nama Tuhanmu. Kalau sekali itu sudah bertentangan dengan nilai-nilai
Tuhanmu, kabarkan kepada mereka. Didik mereka dengan estetikamu. Dan
biarakan bila mereka berontak, kita tinggal mengawalnya dengan karya
kita.
Hadirin sastra yang budiman. Sebagai generasi yang lahir
tahun 80-an. Sebagai generasi yang dibesarkan dengan berbagai macam
keinginan, dan berbagai kemajuan, saya mengingatkan sekali lagi bahwa
jika kalian masih bercita-cita menjadi sastrawan, bercita-cita menjadi
penulis, maka harus kembali memiliki jati diri. Kalian jangan sampai
bergantung pada orang lain, apa lagi kepada generasi tua. Kalian jangan
bergantung bahwa koran, bahwa majalah, bahwa mereka yang berada di
puncak kekuasaan, semisal di Utan Kayu, semisal di Jogja, semisal Joko
Yusuf, semisal dimanapun yang mengatasnamakan kuasa estetika, jangan
pernah berharap, jangan pernah minta tolong, tapi tunjukkan kepada
mereka kita semua bisa menulis. Sebagai khalifah kita diberi tugas itu.
Kita memang suatu makhluk yang paling baik. Kita memiliki tugas untuk
memerintahkan kepada yang baik menghindari amar munkar. Itu yang paling
penting bagi kita sebagai generasi berikutnya.
Para penikmat
sastra yang saya hormati, inilah yang bisa saya sampaikan atas beberapa
pemikiran, atas beberapa kegelisahan saya pada dunia sastra. Saya
kadang-kadang memang kecewa, tapi ini adalah sebuah pilihan, ini adalah
sebuah tugas. Tidak hanya tugas individu, bukan sekedar sebuah tugas
nasional seperti dikatakan Pram, tapi sebuah tugas yang dari Tuhan kita.
Penyembahan
kita tidak sekadar bagaimana kita beribadah, tapi bagaimana diri kita
memahami realitas Tuhan secara keseluruhan. Dalam sejarahnya, dalam
kitab-kitabnya, Tuhan selalu menelurkan kitabnya dengan estetika tinggi.
Ini adalah sebuah isyarat bahwa kita sebagai manusia memang diwajibkan,
memang seniscayanya menjadi sastrawan. Sastrawan tidak harus bermakna
seorang yang menjadi redaktur sastra, tidak harus bermakna mahasiswa
yang kuliah sastra, tidak harus menjadi penulis karya sastra. Tapi
sastrwan adalah orang yang mau membantu, membaca, memahami, setiap
ayat-ayat Tuhan. Karena apa? Karena ayat-ayat Tuhan semua dikeluarkan
dengan estetika tinggi, dengan simbol-simbol tinggi. Tanpa cernaan
sastra tinggi, tanpa kemampuan seni yang tinggi, kita tidak akan mampu
memaknai Tuhan secara utuh. Jika kita tak dapat memahami Tuhan secara
utuh lalu apa bedanya kita dengan makhluk Tuhan yang lain?
Sumber:beritajatim.com
Sastra Penuh Siasat yang Licik
By -
June 27, 2011
2
dunia sastra jawa timur, tempat beredarnya uang receh yang diperebutkan dengan keris dan celurit
ReplyDeletesalam kenal bung
Citra D. Vresti Trisna, terimakasih banyak anda sudah berkunjung ke blog saya. Salam kenal semoga kita bisa saling mengisi dg arti
ReplyDelete