Local Genius "Sastra Balik Desa"

FERRY ARBANIA
By -
0

Pada tanggal 16-18 Mei 2008, kalau tidak ada halangan dan aral melintang, Komunitas Hysteria Semarang akan menggelar hajatan sastra. Hajatan sastra ini direncanakan akan dilaksanakan di desa Gebyok, Gunungpati dengan memboyong semboyan yang cukup menggelitik yaitu "Sastra Balik Desa".

Makna di balik slogan itu tentu saja masih misteri dan menjadi teka-teki karena hajatannya sendiri belum berlangsung. Meski demikian, penulis sudah tidak sabar ingin berkomentar justru karena slogan itu cukup menarik untuk ditelaah.

Makna "Sastra Balik Desa" tentu saja multiinterpretasi. Semoga slogan tersebut tidak dimaknai sebagai wujud kekalahan sastra di lingkungan kota, sebagai wujud kegelisahan yang terlalu berlebihan para pelaku sastra yang tidak tahan dengan gempuran multikulturalisme dan sebagai bentuk kegentaran dalam menghadapi gelombang globalisasi, tetapi lebih dilihat sebagai usaha dan gerakan local genius untuk sejenak menarik diri ke desa dan melakukan pendalaman dan pengenalan identitas diri dan citra lokalitas. Desa menjadi pilihan yang sangat tepat karena kenyamanan dan ketenagannya itu memungkinkan seseorang untuk sejenak merenung dan mengenal identitas diri dan citra lokalitas dari sastra.

Pada paruh awal dasawarsa 90-an ada dua orang yang patut dicatat dalam kasusasteraan Indonesia karena telah menghembuskan isu sastra pedalaman vs pusat. Mereka adalah Suprihanto Namma dan Beno Siang Pamungkas. Waktu itu mereka ini menyinyalir adanya dominasi dan hegemoni pusat terhadap sastra. Menurut mereka, media massa terlalu berpihak ke pusat sehingga potensi sastra yang sebenarnya cukup kaya di pedalaman terabaikan.

Sayang, kedua orang itu melawan hegemoni tidak dengan karya dan akhirnya jatuh pada gerakan politis belaka. Karya-karya yang bernuansa local genius justru muncul dari mereka-mereka yang pada waktu itu tidak ikut-ikut ribut soal polemik polarisasi sastra seperti Oka Rusmini dari Bali dan Taufik Ikram Jamil dari Sumatera.

Pada tataran praktis, pada masa itu juga muncul kantong-kantong kasusastraan di berbagai daerah. Mereka berkumpul dan berkegiatan sastra di daerah masing-masing. Mereka seakan-akan mengabaikan dominasi pusat yang waktu itu dipersoalkan para penggerak isu sastra pedalaman. Sayang, di tingkat karya mereka ini sama saja dengan para penyebar isu sastra pedalaman. Penulis sungguh berharap bahwa acara "Sastra Balik Desa" nantinya tidak hanya berhenti di tingkat wacana, sebagaimanan sudah menjadi penyakit kronis beberapa kaum intelektual Indonesia yang berpandangan bahwa segala persoalan sepertinya akan terselesaikan dalam meja-meja seminar dan diskusi.

Penulis sungguh menunggu gebrakan dan geliat baru khususnya pada lingkup sastra di Semarang. Semoga saja geliat awal dengan hajatan "Sastra Balik Desa" ini nantinya tidak mandeg dan para pelakunya lantas tidak memilih tetap tinggal di desa.

Kembalilah lagi ke kota dan tinggallah di kota! Mengapa demikian? Kasusastraan Indonesia lahir karena pengaruh globalisasi. Kemunculan kasusastraan Indonesia itu pada dasarnya ada bersamaan dengan dimulainya budaya tulis dan budaya tulis timbul sebagai pengaruh globalisasi. Arus dan dampak globalisasi tidak bisa ditolak kehadirannya. Dampak globalisasi makin terasa seperti semakin samarnya batas geografis dan negara. Dunia lantas menjadi semacam pedesaan kecil. Dengannya wajar pula kalau lantas muncul sastra multikultural.

Justru dalam tekanan globalisasi, tuntutan dan kesempatan baru untuk meregenerasikan identitas lokal semakin terbuka lebar. Kebangkitan citra lokalitas menjadi penting karena globalisasi pada dasarnya telah membangkitkan kesadaran dan semangat lokal. Globalisasi adalah narasi besar yang kini terus dikikis oleh lokalisasi.

Hajatan "Sastra Balik Desa" oleh Komunitas Hysteria Semarang jutru penulis pandang secara positif yaitu sebagai gerakan genius untuk sejenak menyepi dan mengenal identitas sastra dalam karakter lokalitasnya. Menarik bahwa pada hajatan tersebut telah diagendakan tidak hanya euforia pentas sastra, tetapi juga diskusi dan seminar dengan membahas tema-tema khusus seperti: sastra di era industri, polarisasi sastra, mencari kebaruan puisi Indonesia, Menilik sejauh mana infrastruktur kasusastraan mampu menopang keberlangsungan sastrawan dan sastra Indonesia dan anak muda yang cemas. Hajatan akan lebih bermakna jika nantinya tidak hanya selesai seiring hajatan yang selesai.

Lebih dari itu semua, hajatan sastra ini penulis lihat sebagai kesempatan emas untuk sejenak merenungkan sastra dalam identitas dan khazanah lokalitasnya, sebagai kesempatan yang tiada duanya untuk mengelola nilai-nilai lokalitas menjadi sebuah kekuatan kecil (micro power). Micro power yang nantinya mampu terus bertahan dalam gempuran globalisasi karena memiliki identitas diri yang jelas. Inilah local genius itu yaitu gerakan membangun diri dengan identitas diri yang kokoh untuk nantinya terus berkarya. Semoga!

* Gendhotwukir, Penyair dan Jurnalis dari Komunitas Merapi. Penulis pernah mengenyam pendidikan di Philoshopisch-Theologische Hochscule St. Augustin Jerman.

Sumber:citizennews.suaramerdeka.com

Post a Comment

0Comments

Ferry Arbania , Sahabat Indonesia

Post a Comment (0)