Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya mineral,
salah satunya adalah minyak dan gas bumi (migas). Menurut catatan Walhi
Jawa Timur, Provinsi Jawa Timur menopang 40% migas nasional dengan 28
blok migas dalam tahap eksplorasi. Salah satunya adalah Blok Brantas,
yang memiliki 49 sumur yang tersebar di tiga kabupaten di Jawa Timur
(Sidoarjo 43 sumur, 4 sumur di Mojokerto, dan 2 sumur di Pasuruan).
Ironisnya, petaka pertambangan migas justru terjadi di Jawa Timur,
tepatnya di Porong, Sidoarjo. Tahun 2006 adalah tahun yang tidak bisa
dilupakan warga Porong, Sidoarajo. Pada Mei 2006 itulah awal munculnya
semburan lumpur Lapindo yang menenggelamkan rumah, tanah, dan masa
depan warga Porong.
Tahun 2011 ini, usia semburan lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo,
Jawa Timur, mendekati lima tahun. Meskipun sudah akan menginjak usia
lima tahun, persoalan lumpur Lapindo tidak kunjung usai. Berbagai
kejadian di Porong akhir-akhir ini justru menunjukkan makin runyamnya
persoalan yang diakibatkan lumpur Lapindo itu.
Menjelang Idul Fitri 2010, misalnya, dua orang warga Porong harus
dirawat di rumah sakit karena sekujur tubuh mereka terbakar. Kedua
orang itu adalah Purwaningsih dan Dedy Purbianto. Menjelang Lebaran
2010, semburan gas liar yang mengandung metana dari lumpur Lapindo
tiba-tiba terbakar dan melukai tubuh mereka.
Celakanya, semburan gas liar itu kini menyebar hampir di seluruh
wilayah Porong, Sidoarjo. Semburan lumpur Lapindo pada Mei 2006 telah
membuat Porong, Sidoarjo, menjadi kawasan yang berbahaya bagi kehidupan
manusia, bahkan juga makhluk hidup lainnya.
Selain menyebabkan semburan gas metana yang muncul secara liar dan
mudah terbakar di rumah-rumah penduduk, lumpur Lapindo juga menyebabkan
turunnya tanah di wilayah itu. Penurunan tanah di kawasan itu kini
telah membahayakan konstruksi bangunan. Rumah yang tidak tenggelam
lumpur Lapindo pun kini terancam roboh secara berlahan.
Ancaman terhadap keselamatan warga Porong, Sidoarjo, juga bertambah
dengan adanya kemungkinan jebolnya tanggul penahan lumpur Lapindo.
Jebolnya tanggul penahan lumpur itu bisa terjadi kapan saja. Artinya,
setiap saat warga Porong, Sidoarjo, harus bersiap-siap meninggalkan
rumah mereka untuk menjadi pengungsi.
Kejadian jebolnya tanggul penahan lumpur Lapindo pada 23 Desember
2010 dapat dijadikan contoh dalam hal ini. Seperti ditulis di portal Korbanlumpur.info, jebolnya tanggul penahan lumpur Lapindo itu membuat persawahan dan rumah warga terendam.
Begitu tanggul jebol, air di dalam kolam lumpur langsung mengalir
deras menerjang persawahan dan rumah warga. Wilayah yang terkena
terjangan lumpur mencakup Dusun Pologunting, Desa Gelagaharum, dan Desa
Sentul. Warga pun panik. Mereka spontan mengevakuasi perabotan mereka.
Ancaman terhadap kehidupan bukan hanya berhenti di situ. Kini tanpa
harus menggunakan alat pemantau kualitas udara pun kita dengan mudah
dapat memastikan bahwa di Porong telah terjadi polusi udara yang begitu
parah. Bau busuk yang menyengat di kawasan itu sejak munculnya semburan
lumpur Lapindo adalah salah satu indikasinya.
Belum lagi polusi udara yang diakibatkan emisi kendaraan bermotor
yang terjebak kemacetan setiap melintas di Jalan Raya Porong. Kini
bukan hanya warga Porong yang dipaksa menghirup udara beracun setiap
harinya, melainkan juga setiap orang yang melintas di kawasan itu.
Air tanah, yang sebelum terjadi semburan lumpur, dapat digunakan
untuk mencuci, mandi dan memasak, kini juga telah tercemar. Penyakit
gatal-gatal adalah sesuatu yang biasa dialami warga Porong jika mereka
tetap memaksakan diri menggunakan air tanah untuk mandi sehari-hari.
Akibat krisis air bersih di Porong, kini warga harus mengeluarkan
uang tambahan untuk mendapatkan air bersih. Rata-rata warga Porong
harus menyisihkan uang Rp2.000/hari untuk membeli air bersih yang hanya
digunakan untuk air minum dan memasak. Uang yang kecil bagi pemilik
Lapindo dan petinggi republik ini, tapi uang sebesar itu sangat berarti
bagi warga di Porong, Sidoarjo.
Selain berdampak buruk secara ekologi dan kesehatan, lumpur Lapindo
berdampak buruk secara sosial bagi warga Porong. Dampak buruk itu salah
satunya menimpa anak-anak. Kini sebagian dari mereka terpaksa putus
sekolah.
Menyusutnya jumlah siswa dan guru di SDN Kedungbendo III dapat
dijadikan contoh dalam hal ini. Siswa SDN Kedungbendo III misalnya,
sebelum muncul semburan lumpur Lapindo berjumlah 553 orang. Namun, kini
hanya tersisa 30 orang. Dan lebih parah lagi, dari 15 orang tenaga
pendidik, kini hanya menyisakan tiga orang.
Meskipun sudah banyak media massa yang memberitakan persoalan
tersebut, anehnya pemerintah seperti membiarkan saja semua itu terjadi.
Yang menjadi fokus pemerintah hanya persoalan jual beli aset fisik,
berupa rumah dan tanah. Seakan-akan jika persoalan itu dapat
diselesaikan, persoalan lumpur Lapindo sudah dianggap selesai. Dampak
buruk lumpur Lapindo lainnya yang justru mengancam keberlanjutan
kehidupan tidak dianggap penting oleh pemerintah.
Pemerintah tetap pada keyakinannya untuk mengikuti seruan iklan
Lapindo bahwa semburan lumpur di Sidoarjo adalah bencana alam.
Sepertinya seruan iklan Lapindo lebih penting untuk diperhatikan dan
diikuti pemerintah daripada hasil laporan BPK, dokumen rahasia Medco,
dan juga mayoritas pendapat pakar pengeboran internasional yang
mengatakan bahwa semburan lumpur di Sidoarjo terjadi akibat pengeboran.
Jika pola penanganan kasus Lapindo seperti tersebut terus
dilanjutkan pada 2011, dapat dipastikan Sidoarjo benar-benar kolaps,
baik secara ekologi maupun sosial. Pemerintah sebagai pihak yang
memiliki mandat melindungi warganya harus segera bertindak. Salah
satunya adalah membuat payung hukum baru untuk mengatur
pertanggungjawaban Lapindo di luar persoalan jual beli aset.
Warga Sidoarjo bukan sekadar angka dalam statistik kependudukan
yang baru diperhatikan menjelang pemilu. Saat ini mereka butuh
perhatian dan pembelaan dari pemerintah secara nyata. Tidak perlu
menunggu hingga tahun 2014, jika pemerintah benar-benar ingin
menyelamatkan warga Porong dan bukan sekadar politik pencitraan. Ironi
kekayaan migas di Jawa Timur yang justru membuat warganya menderita
selama hampir lima tahun harus segera diakhiri bukan dilanjutkan.
Oleh Firdaus Cahyadi
Knowledge Sharing Officer for Sustainable Development OneWorld-Indonesia
sumber: www.mediaindonesia.com
Post a Comment
0Comments
3/related/default
Ferry Arbania , Sahabat Indonesia