Tubuh renta Pak Bakier direbahkan perlahan di atas dipan yang terbuat dari kayu jati kusam yang dibuat 61 tahun silam. Sambil membuka bajunya yang penuh lumpur, gigil tangannya bergerak pelan. Ditariknya kepala Bu Aminah yang setia sembari membisikkan sesuatu.
”Bu, kalau aku benar-benar mati sebelum lebaran ketupat tahun ini, tolong kuburkan aku di dekat sumur yang pertama kali membunuh tanaman sekaligus sawah dan masa depan anak cucu kita itu. Aku tidak akan kemana-mana, apalagi pergi mengungsi. Lumpur-lumpur sial itu telah menenggelamkan tiga desa kebanggaan kita. Tak ada cahaya kehidupan yang terlihat di sana. Pohon-pohon bernyanyi dalam duka cita mendalam, tenggelam dan kering dalam rendaman lumpur. Sawah-sawah yang telah menjadi tumpuan hidup secara turun-temurun, kini tak terlihat sama sekali dan arealnya sudah berubah menjadi hamparan danau lumpur."
”Pak, Bapak mau kemana, katanya mau kerokan, di luar banyak angin yang menerbangkan bau lumpur, nanti asma bapak tambah kambuh.”
Tanpa menghiraukan panggilan istrinya Pak Bakier meninggalkan gubuknya. Sambil terhuyung-huyung dia segera bergabung dengan ratusan orang yang berbondong-bondong meninggalkan istana lumpur yang sudah mengeras dan mengubur sebagian bangunan rumah mereka. Bangunan hatinya juga.
Senja merah kian berlabuh di ufuk barat. Sesaat lagi malam mengumandangkan laut kelam. Puluhan anak kecil berkumpul di atas tumpukan batu. Sebilah pisau digosok-gosokkan perlahan, entah berapa lamanya, tiba-tiba seorang bocah muncul di belakang mereka dengan suara terengah-engah menghampiri anak yang paling tua, yang tidak lain adalah Umar, cucu pak Bakier yang kini entah kemana.
”Syaiful, kenapa kamu kemari, wajahmu kenapa? Bukankah waktu terjadinya semburan lumpur di desa ini kamu sedang tinggal bersama tante kamu di Jakarta?”
Saiful terdiam sejenak. Tiba-tiba dari dalam sakunya ia mengeluarkan lembar kertas yang juga sudah berlepotan lumpur.
”Tolong bacakan kertas yang sudah saya keliping dari salah satu harian umum Pengemban Amanat Hati Nurani Rakyat ini, dan maaf saya tidak bisa bermain dengan kalian, sebab tanteku sudah tidak betah lagi, dan malam ini akan segera kembali ke ibu kota. Maafkan saya Umar, maafkan saya teman-teman. Jangan lupa rajin-rajinlah belajar mencari hidup dalam lumpur. Selamat malam kawan-kawan. Sampai jumpa di layar telivisi”.
Setelah menyerahkan lembaran kertas koran kepada Umar dan menyalaminya mereka, Syaiful pergi dengan tangis yang begitu mengharu-biru.
Malam kian kelam, cahaya bulan yang menyembul di atas lempengan kabut putih, seolah-olah tengah menangisi ribuan kuncup bunga yang sudah terkubur bersama ribuan asa yang melanglang buana di atas jejak kematian.
”Selamat malam nak, bisakah salah satu dari kalian mengantarkan saya ke rumah Pak Bakier, kalian kenal Pak Bakier khan?”
"Eh, Paman siapa, dari mana, kok kulit kami sama sekali beda dengan kulit yang terbungkus baju mahal paman, apakah paman seorang menteri yang ingin menolong nasib kami?”
Anak-anak itu dengan sukarela mengantarkan laki-laki asing yang sengaja datang ke desa mereka untuk sekedar menemui pak Bakier yang konon namanya sudah terkenal di mana-mana.
”Oh nak Pindo, kapan datang dari Timur Tengah? Ng…. Julaiha kok nggak ikut serta, apa dia ...?”
”Katakan sejujurnya nak, apa yang sebenarnya ingin kau sampaikan pada kami, lihatlah lumpur-lumpur yang melumpurkan wajah-wajah penghuni kampung ini. Rasa remuk, benar-benar meremukkan jiwa kami nak. Coba bayangkan, luas kawasan ketiga desa yang terkubur lumpur sedikitnya delapan puluh hektar. Kemana kami bisa menikmati kembali aroma singkong rebus, aroma talas atau pada warna padi yang biasa menguning saat burung-burung kecil bersuka cita di sepanjang tanah yang sekarang...hohhh, ternyata hanya bisa dikenang.”
Supindo, yang akrab disapa Pindo lagi-lagi terdiam mendengar pengaduan Bu Aminah yang amanah, menceritakan apa sebenarnya yang tengah melanda keluarga, sahabat, tetangga serta orang-orang yang nasibnya kian tak menentu akibat semburan bedak lumpur neraka buatan yang sama sekali tak diinginkan.Bahkan mengharuskan mereka, wajah-wajah mangsai nan berlumpur, terusir dari kampung halaman sendiri dan hidup dalam pengungsian yang mengerikan.
”Permisi, maaf bu saya harus mencari Pak Bakier sekarang juga.” Hallo, oh Pak DPR, baik Pak, iya, iya, saya paham, semua ditanggung beres. Baik Pak silahkan baca besok di laporan khusus. Baik, pasti Pak. Selamat malam”.
Sepertiga malam, suara angin yang hinggap di dahan-dahan resah mengantarkan dengkur purnama dalam relung bumi yang pengap. Sementara itu di beranda rumah yang masih tersisa, seonggok kursi tua dan meja bundar mirip peci Pak Salim yang kemarin mati mendadak gara-gara terserang asap Lumpur hitam kelam yang menyeruak lewat atap rumah dan dinding rumahnya yang nyaris tak berwajah hunian lagi. Radio kebanggan Pak Bakier tengah memperdengarkan siaran News Radio terkemuka di Jawa Timur. ”Penikmat nada/rencana dibangunnya waduk Lumpur yang permanen/untuk menampung luapan Lumpur yang belum berhenti hingga hari ini/ kemarin mulai menimbulkan gejolak di tengah masyarakat//”
"Akh, sungguh tak berperasaan! Ini jelas sudah sangat keterlaluan sekali. Ini bukan bencana alam Pak Pindo.Berantas saja semua rencana yang tak manusiawi itu. Coba pikir Pak,apa sih artinya sok perhatian sama rakyat, tapi malah menambah kepedihan kami. Apakah layak desa kami ditenggelamkan hanya untuk membangun waduk? Kualat, hah!”
Coba nikmati lagu Godbless ini Pak.
“Hanya bilik bambu/tempat tinggal kita/tanpa hiasan/tanpa lukisan/beratap jerami/beralaskan tanah/namun semua ini/tinggal kita/memang semua ini milik kita….sendiri//
"Iya Bu, saya sudah menikmati syair lagunya. Mententuh sekali dan mirip sekali dengan apa dirasakan oleh penghuni kampung yang kini pindah pada relung tangis pedih. Tapi, bagaimana kita mesti melawan musibah ini Bu?"
Pak Pindo, kami memang orang desa yang bodoh dan bisa dipermainkan. Namun satu hal yang harus bapak kenal dari kehidupan hati kami yang sebenarnya. Bahwa ini adalah tanah yang telah menyaksikan tangis pertama kami. Dan di tanah ini pulalah, kami ingin dikubur. Ingat Pak !apa yang menimpa tanah kami bukan bencana alam. Bukankah masih banyak cara lain yang bisa dilakukan untuk menanggulangi luapan Lumpur ini pak.Jadi nggak usah mengorbankan desa kami. Dan kalau keinginan itu harus terealisasikan dengan paksa, maka tujuan sebenarnya adalah untuk mengusir kami dari kehidupan yang menyesakkan ini. Sudah jelas semuanya Pak Pindo? Jadi …
Ya waduk itu tak perlu dibangun dan desa ini tak perlu di musnahkan. Sebab bagaimanapun juga, /Lebih baik di sini/di rumah kita sendiri. Di rumah Lumpur yang senantiasa kami cintai dengan sepenuh jiwa raga kami. www.kabarindonesia.com]