Aku Bukan Teroris - 28

FERRY ARBANIA
By -
0
istimewa
Novel Handoko Adinugroho
9. Menjumput Nasib
TAKDIR memang telah digariskan di telapak tangan kita masing-masing. Namun kita sebagai manusia wajib mencari takdir-takdir yang lain, yang sangat mungkin jauh lebih baik dari apa yang selama ini telah kita anggap sebagai takdir. Sebab takdir sesungguhnya sebuah misteri yang tak akan pernah mampu dikuak oleh jangkauan nalar manusia. Takdir adalah hak Ilahi. Yang paling tahu takdir setiap manusia, hanyalah Allah. Sesungguhnya, kita sebagai hamba tak berhak mereka-reka apakah nasib yang kita terima benar-benar sudah merupakan takdir ataukah hanya sebuah akibat dari penyebab yang kita buat sendiri.
Keyakinan itu selalu dipatrikan suamiku kepadaku. Maka, ketika kami pindah dari kampung halaman suamiku, hal itu kami ihtiarkan sebagai upaya mencari takdir yang lain. Dalam bahasa lisan yang paling sederhana: kami wajib berusaha, sedangkan keberhasilan dan kegagalan sepenuhnya hak Allah untuk menentukan.
Meski tak bisa lagi mengolah ladang peninggalan ayahnya, semangat suamiku tak serta merta tersurutkan apalagi termatikan. Seorang budak di zaman dahulu saja masih punya jiwa untuk menopang hidup, apalagi sebagai manusia merdeka seperti kami, haram hukumnya jika terpuruk dalam keputusasaan. Allah memberikan kemampuan berbeda-beda kepada setiap hamba-Nya. Dengan kemampuan itulah, setiap hamba diwajibkan untuk tidak berpangku tangan. Pada dinding beton yang tebal dan kuat pun selalu tersisa celah – meski teramat kecil – sehingga serombongan semut masih bisa melintas.
Suamiku tak pernah merasa terusir dari tanah kelahirannya. Rasulullah SAW yang nyata-nyata tak dikehendaki keberadaannya di Mekkah oleh Kaum Quraisy pun tak merasa terusir ketika berhijrah ke Madinah. Apalagi kami, yang hanya tak boleh tinggal di sana. Kami masih diizinkan datang untuk menengok ibu yang kini tinggal sendirian tanpa sanak saudara. Kalaupun ada larangan, hanyalah kepada suamiku untuk tidak berceramah yang – menurut mereka – bisa menyulut amarah dan memunculkan solidaritas agama. Meski sama seperti suamiku, aku sendiri tak paham solidaritas semacam apa yang mungkin ditimbulkan dan dampak fisik seperti apa yang diakibatkan.
Dengan sisa tabungan yang kami miliki – sisa-sisa uang saku suamiku selama berkelana ke beberapa belahan dunia – suamiku mencoba membuka usaha berjualan pulsa. Ia memilih usaha itu atas usulan teman-temannya. Meski aku sendiri belum pernah melihat siapa teman-teman suamiku itu, aku percaya mereka tak akan menjerumuskan kami ke jurang penderitaan. Apalagi suamiku juga kerap bilang, teman-teman yang ia jumpai atau bersama-sama seperjalanan selama berkelana, kini lebih banyak yang berdagang pulsa dan handphone-handphone bekas. Keuntungannya memang tak seberapa, namun perputaran uang bisa sangat cepat.
Suamiku membuka kios kecil di depan pasar. Kios semi permanen yang hanya berukuran 1,5 x 1,5 meter. Kios itu terbuat dari papan. Sesungguhnya lebih mirip bekas gerobak yang telah dilepas kedua rodanya daripada disebut sebagai sebuah kios. Itu pun bukan kios kami. Suamiku menyewanya dari seseorang yang memang menyediakan kios-kios semi permanen serupa itu.
Di awal-awal buka, suamiku nyaris tak mendapatkan pembeli. Setiap hari ia hanya menunggui kiosnya tanpa disapa oleh seorang pun yang ingin mengisi pulsa handphone-nya. Suamiku tak putus asa. Baginya, menunggu kios sudah merupakan usaha yang wajib ia laksanakan. Selebihnya, laku tak laku, untung atau merugi, sepenuhnya dikembalikan kepada Allah, Sang Mahakaya, Sang Mahamemiliki.
Aku sendiri tetap bertahan pada nafkah yang telah diserahkan suamiku. Tak pernah kutuntut lebih barang sedikit pun. Usahanya yang keras, semangatnya membanting tulang-belulang, memeras deras keringatnya, sudah merupakan anugerah yang tak terkirakan. Suamiku bertanggung jawab. Bukan hanya atas kelangsungan hidupnya sendiri, melainkan juga hidupku dan hidup putri kami, Hanifah.
Aku hanya mampu mendorongnya dengan doa. Aku hanya bisa mengiringi langkahnya dengan cinta. Sebongkah ketulusan selalu kupersembahkan kepadanya. Setiap saat. Setiap detik. Setiap menit. Setiap hari. Setiap minggu. Lambat laun, satu demi satu, orang mulai menyambangi kios suamiku. Dengan tambahan pengetahuan hasil berkelana, suamiku juga menerima servis handphone. Bahkan berkat pengetahuan dan kreasinya, ia tak hanya memperbaiki handphone yang rusak, melainkan juga mampu menambah fasilitas yang selama ini belum pernah terfikirkan oleh orang lain. Ia mampu membuat sebuah handphone yang juga bisa berfungsi sebagai radio.
“Aku hanya memainkan frekuensi yang sesungguhnya sudah ada di setiap handphone. Hanya saja aku menambah daya jangkau frekuensi itu sehingga bisa menjangkau siaran radio,” papar suamiku ketika aku merasa penasaran terhadap kemampuannya yang bagiku sangat istimewa itu.
“Aku bukan tukang sihir. Semua orang bisa melakukan itu, jika mereka tahu rahasianya,” katanya lagi..

Sumber: http://oase.kompas.com edisi Jumat, 15 Juli 2011 |

Post a Comment

0Comments

Ferry Arbania , Sahabat Indonesia

Post a Comment (0)