Sumenep Dipengaruhi China, Arab dan Eropa

FERRY ARBANIA
By -
Hand Out
Seminar Kebangsaan digelar di Sumenep, Madura, Jawa Timur, Selasa (14/2). Sejumlah pejabat dan pemateri hadir saat pembukaan, antara lain (kiri ke kanan) I Gde Pradnyana (Kadiv Humas BPMigas), Soengkono (Wabup Sumenep), KH A Busyro Karim (Bupati Sumenep), Asyhar (Assisten Pemerintahan, Provinsi Jatim), KH Salahuddin Wahid (Ketua Gerakan Integritas Nasional) dan Putut Prabantoro (Ketua Panitia)
SUMENEP- Bupati Sumenep KH A Busyro Karim menegaskan kekayaan bangsa Indonesia adalah keberagaman. Keberagaman atau pluralism itu harus dihargai, dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia karena memang demikian adanya struktur kebangsaan Indonesia.
Pluralisme harus dibangun dengan pemahaman akan sejarah panjang negara Indonesia. Sejarah panjang negara Indonesia menunjukkan bahwa pluralisme memang menjadi kekuatan. Pembangunan kerajaan Majapahit yang menjadi cikal bakal negara Indonesia juga berdasarkan pluralisme yakni Jawa dan Madura.
"Bahkan di Sumenep sendiri dipengaruhi oleh China, Arab, Eropa, Jawa, Madura. Ini terlihat dari bangunan pendopo Keraton Sumenep tempat penyelenggaraan seminar kebangsaan ini," ujar Busyro pada acara seminar kebangsaan yang diselenggarakan Gerakan Ekayastra Unmada - Semangat Satu Bangsa (dari wartawan, oleh wartawan, untuk Indonesia) di Sumenep, Madura, Jawa Timur, Selasa (14/2/2012).
Busyro Karim, lulusan IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, menegaskan keberagaman seharusnya tidak menghancurkan tetapi sumber kebersatuan. Dalam perjalanan sejarah, Sumenep telah menunjukkan sikapnya dalam pluralisme. Sumenep telah memiliki jiwa dan semangat terbukan terhadap kemajemukan. Hal ini bisa dilihat dari menyerukan perdamaian bagi Bangsa Indonesia.
Hendaknya daerah-daerah lain juga menjunjung tinggi pluralisme untuk mengatasi perbedaan dengan melihat nilai pluralisme sebagai kekuatan dan kekayaan bangsa yang harus senantiasa dipelihara dan dijaga.
Di arena serupa, adik tokoh pluralis Gus Dur, KH Salahuddin Wahid menyikapi situasi dan kondisi yang ada menjelaskan jika ada usulan suksesi sebaiknya dilakukan sesuai dengan kalender politik yang telah disepakati.
"Tahun 2014 adalah kalender politik Indonesia dan gunakan tahun itu untuk melakukan suksesi. Suksesi di tengah jalan adalah tidak mungkin. Hanya orang gila yang mau menumbangkan pemerintah pada saat ini. Biaya sosial tak akan tergantikan jika menumbangkan pemerintah sekarang di tengah-tengah masa pemerintahannya. Biarlah semua berjalan sesuai dengan waktu yang telah disepakati." tandas Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang ini.
Meskipun demikian, Gus Solah - panggilan akrab KH Salahuddin Wahid, jika kita melihat adanya kekurangan pemerintah saat ini, adalah kewajiban kita membantu dengan cara mengkritisi. "Kita semua mencintai negara ini, tetapi harus kritis terhadap pemerintah,"ujarnya.
Seminar kebangsaan yang diselenggarakan tersebut adalah sejarah bagi Sumenep karena pertama kali diadakan dalam skala nasional. Malam sebelumnya, dalam rangkaian kegiatan tersebut diselenggarakan juga pengajian akbar di Sumenep dengan mendengarkan tausiah dari KH Salahuddin Wahid dan dihadiri 2.000 orang.
Sementara Asisten Bidang Pemerintahan Sekda Provinsi Jatim, Ashyar yang datang mewakili gubernur Jatim mengemukakan pendekatan penyelesaian konflik secara budaya dan nasionalisme sangatlah penting mengingat tidak mungkin lagi menggunakan pendekatan keamanan.
Pendekatan budaya dan nasionalisme, jelas Ashyar, kemajemukan atau keberagaman merupakan cirikhas yang melekat pada bangs Indonesia. Kemajemukan harus menjadi modal utama dalam membangun mental bangsa dalam mencapai keadilan dan kemakmuran.
Meskipun demikian, jika tidak didekati secara bijaksana, kemajemukan dalam beberapa kasus menjadi sumber konflik juga karena masyarakat tidak memahami makna pluralism. Oleh karena itu, untuk mengatasinya diperlukan sistem hukum yang harmonis. Pembangunan sistem hukum yang harmonis harus disertai dengan penegakkan hukum yang kuat dengan pijak keadilan.
Media memegang peranan penting dalam membangun komunikasi antara masyarakat dan pemerintah antara suprastruktur dan infrastruktur. Para pekerja media harus menyadari arti penting posisinya sebagai mediator, penerang bagi masyarakat. "Pers harus mengakomodasi keragaman dan kearifan lokal," ujar Ashyar.

Penulis: Yogi Gustaman  |  Editor: Domu D. Ambarita
Sumber:TRIBUNNEWS.COM