Kisah Cinta di Balik Bentrok Syiah Madura

FERRY ARBANIA
By -
Tragedi penyerangan warga Syiah di kompleks pesantren Misbahul Huda di Nangkernang, Desa Karang Gayam, Sampang, Madura oleh warga Sunni tidak melulu dilatarbelakangi perbedaan pandangan agama. Terselip, sebuah cerita cinta masa lalu yang berbuntut sengketa berdarah.
Tajul Malik pengelola pesantren Misbahul Huda menuding adik kandungnya , Roisul Hukama, sebagai otak di balik penyerangan. Penyebabnya: dendam lama. Muslika yang kini mendekam di tahanan, menurut Tajul, bukan siapa-siapa. “Tak ada warga Nangkernang bernama Muslika,” katanya kepada Tempo. Iklil Hilal, sang abang, juga melihat Roisul ada di tengah-tengah massa ketika mereka mulai berkelimun di depan pesantren. “Tapi saat massa mulai menyerang, ia tak kelihatan,” ujarnya.
Menurut Tajul, kemarahan Roisul kepada dirinya disebabkan persoalan sepele: perempuan. Pada 2009, Abadul Latif, seorang santri di pesantren Misbahul meminta Tajul meminang seorang gadis bernama Halimah, yang belum lulus sekolah dasar. Gadis itu ternyata menyantri di pesantren yang diasuh Roisul, yang berjarak sekitar 500 meter di utara Misbahul. Tanpa bilang-bilang Roisul, Tajul meminangkan Halimah untuk Latif.
Setelah pertunangan terjadi, Roisul melabrak Tajul. “Ini sama saja merebut istri saya,” kata Tajul menirukan ucapan Roisul kala itu. Belakangan diketahui, Roisul menyukai Halimah dan hendak memperistrinya. Membereskan persoalan ini, Roisul pun memanggil orang tua Halimah. Tapi Tajul melarang orang tua si gadis untuk menemui Roisul. “Saya tahu Roisul kasar,” ujar Tajul. Sejak itulah Roisul keluar dari Syiah dan kembali ke Sunni. Sejak itu pula Rois gencar menjelek-jelekan Syiah.
Dikonfirmasi soal ini, Roisul membantah persoalan Syiah di Nangkernang belakangan ini disebabkan masalah pribadi. Ia menuding insiden insiden pembakaran properti Syiah pada pengujung Desember lalu disebabkan sepak terjang Tajul sendiri. “Ia terlalu keras berdakwah sehingga merusak budaya warga Sunni yang mayoritas,” katanya. “Metode dakwah Tajul keliru.”
Dua saudara ini adalah anak seorang kiai bernama Makmun di Nangkernang. Sang kiai getol mempelajari agama lewat Al-Quran dan kitab-kitab kuning. Suatu ketika, pada awal 1980-an, Kiai Makmun dikirimi sebuah surat kabar Iran oleh sahabatnya di sana. “Dari situlah Kiai Makmun mengenal imam besar Syiah Iran, Ayatollah Khomeini,” kata Iklil. Kiai Makmun tak lain dari ayah Iklil (kini 41 tahun), Tajul (40), Roisul (39), dan Heni (37).
Mengagumi sosok Khomeini, Makmun lantas mengirim keempat anaknya ke Pesantren Yayasan Pesantren Islam di Bangil, Pasuruan, pada 1983. Pesantren ini memang dikenal beraliran Syiah. Pada 1991, anak-anak Makmun telah kembali Sampang. Dari keempat anaknya, hanya Tajul yang melanjutkan sekolah di Arab Saudi pada 1993. Terkendala biaya, sekolah Tajul berhenti di tengah jalan. Ia banting setir jadi pekerja serabutan dan menetap di sana hingga 1999.
Pulang ke Sampang, Tajul yang bernama asli Ali Murtadha ini tak lekas membuka pesantren. “Saya dagang sembako dan berbagai kebutuhan petani,” katanya. Mengetahui pernah berguru agama hingga di Saudi, sejumlah warga meminta Tajul untuk mengajari anak mereka agama. Pada 2004, Tajul merintis pesantren Misbahul Huda. Di sana, ia mengajarkan Islam ala Syiah yang dianutnya. Seiring berkembangnya Misbahul, pengaruh Tajul pun meluas.
Pengaruh Tajul di masyarakat rupanya menimbulkan kecemburuan. Pada 2006, gesekan mulai terjadi. Sejumlah tokoh masyarakat Nangkernang, terutama kiai yang beraliran Ahlu Sunnah Wal Jamaah atau Sunni, mulai menuding Syiah sesat. Namun protes itu belakangan reda sendiri, warga mulai melupakan soal Syiah. Puncaknya pada April 2007, ketika acara Maulid Nabi yang hendak digelar di Misbahul Huda dihadang ribuan warga. Di luar itu, pada 2007, Tajul dan Roisul dilantik sebagai pengurus Ikatan Jamaah Ahli Bait Indonesia wilayah Sampang.
Anton Septian I Musthofa Bisri (Sampang)










Sumber:Tempo.CO